Trilogi-university.ac.id – Quiet covering muncul sebagai tren baru di dunia kerja, di mana Gen Z cenderung menyembunyikan aspek pribadi untuk hindari penilaian dan tingkatkan peluang promosi. Profesor Emeritus Universitas North Carolina, Bryan Robinson, PhD, definisikan ini sebagai upaya karyawan sembunyikan identitas untuk diterima di lingkungan profesional. Survei Attensi terhadap 2.000 karyawan ungkap 58% lakukan skill masking, berpura-pura paham tugas demi hindari kritik. Dengan quiet covering, Gen Z tak hanya lindungi diri, tapi juga adaptasi norma kerja yang menuntut, meski risikonya stres dan kelelahan. Berikut penjelasan lengkap fenomena ini, alasan Gen Z lakukan, dan dampaknya bagi kinerja kerja.
Quiet Covering: Definisi dan Asal Usul Tren
Quiet covering, dicetuskan Profesor Kenji Yoshino, adalah praktik karyawan tutupi atribut pribadi seperti ras, gender, orientasi seksual, usia, agama, atau disabilitas untuk hindari stereotip dan diskriminasi.<grok:render card_id=”992298″ card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 0</grok:render> Robinson sebut ini strategi bertahan di tempat kerja yang nilai citra profesional di atas autentisitas. Misalnya, karyawan tutupi pandangan politik atau status vaksinasi untuk amankan posisi. Survei Hu-X x Hi-Bob tunjukkan 97% karyawan lakukan covering kadang-kadang, 67% sering, dengan alasan utama jaga citra (55%) dan hindari diskriminasi (46%).
Tren ini normal sebagai adaptasi emosional, tapi berlebihan sebabkan ketidaknyamanan kronis. Dengan demikian, quiet covering jadi bentuk self-protection di era always-on culture. Oleh karena itu, perusahaan harus bangun lingkungan inklusif untuk kurangi praktik ini. Selain itu, Gen Z lakukan dua kali lebih sering daripada Boomer, bahkan ke HR (56%).
Alasan Gen Z Lakukan Quiet Covering
Gen Z, yang lahir 1997–2012, lakukan quiet covering untuk navigasi norma kerja yang emosional. Studi Hu-X x Hi-Bob ungkap 56% Gen Z sembunyikan tantangan kesehatan mental, kebiasaan self-care, atau pengalaman masa lalu demi proyeksikan citra kuat.<grok:render card_id=”72b367″ card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 0</grok:render> Hampir setengahnya berpura-pura paham tugas, 40% hindari minta bantuan meski ragu. Misalnya, karyawan Gen Z tutupi orientasi seksual atau usia untuk cegah penghakiman, atau bohong vaksinasi demi aman dari PHK.
Alasan strategis: tingkatkan peluang promosi (46%), kenaikan gaji (46%), dan ulasan positif (43%). Dengan demikian, ini jadi keputusan kalkulatif untuk bertahan di kompetisi kerja. Oleh karena itu, Gen Z anggap covering sebagai “nonverbal boundary” lawan budaya perusahaan yang tuntut antusiasme konstan. Selain itu, survei Attensi tunjukkan 58% lakukan skill masking untuk hindari penilaian kompetensi.
Dampak Negatif Quiet Covering bagi Karyawan dan Perusahaan
Quiet covering sebabkan stres sedang-berat (64%), kurangi produktivitas (54%), dan hambat karier (40%), menurut Hu-X x Hi-Bob.<grok:render card_id=”2caceb” card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 0</grok:render> Lainnya: kurangi keterlibatan (56%), pengaruh kehidupan pribadi (43%), batasi kreativitas (55%), dan turunkan kinerja (47%). Katz sebut ini “energi terbuang untuk kelola persepsi, bukan kreatif dan terlibat.”<grok:render card_id=”efb1c5″ card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 5</grok:render> Misalnya, Gen Z tampak “kosong” atau acuh sebagai perlindungan diri, tapi lama-lama erosi kepercayaan diri.
Bagi perusahaan, ini ciptakan budaya toksik, kurangi inovasi. Dengan demikian, organisasi rugi talenta autentik. Oleh karena itu, HR harus promosikan inklusi untuk kurangi covering. Selain itu, studi PR Newswire ungkap Gen Z gunakan AI diam-diam (47% khawatir ganti pekerjaan), tambah risiko keamanan data.
Cara Atasi Quiet Covering di Tempat Kerja
Perusahaan dapat atasi quiet covering dengan bangun budaya autentik. Mulai dari pelatihan DEI (Diversity, Equity, Inclusion) untuk kurangi stereotip. Misalnya, kebijakan AI transparan kurangi ketakutan Gen Z gunakan tool secara sembunyi-sembunyi.<grok:render card_id=”3c92eb” card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 9</grok:render> Dorong open dialogue soal kesehatan mental, seperti sesi check-in mingguan.
Untuk Gen Z, kembangkan kecerdasan emosional melalui mentoring. Dengan demikian, karyawan berani tunjukkan diri asli. Oleh karena itu, leader harus model autentisitas untuk inspirasi tim. Selain itu, evaluasi performa fokus kompetensi, bukan citra, untuk kurangi tekanan covering.
Prospek Tren Quiet Covering di Masa Depan
Quiet covering kemungkinan bertahan seiring hybrid work tingkatkan batas pribadi-profesional. Namun, generasi mendatang mungkin tuntut transparansi lebih. Misalnya, survei Workhuman tunjukkan 1/3 pekerja UK akui “fake productivity,” mirip task masking di Gen Z.<grok:render card_id=”fd7beb” card_type=”citation_card” type=”render_inline_citation”> 6</grok:render> Dengan demikian, perusahaan adaptif akan unggul dalam retensi talenta muda.
Pakar sarankan integrasi AI etis untuk bantu karyawan tanpa sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, quiet covering bisa jadi pelajaran untuk reformasi budaya kerja. Selain itu, survei global seperti dari Forbes tunjukkan tren ini universal, tapi solusi lokal seperti program inklusi Indonesia bisa cegah eskalasi.
- Definisi: Menyembunyikan identitas pribadi untuk hindari stereotip dan tingkatkan promosi.
- Alasan Gen Z: Jaga citra (55%), hindari diskriminasi (46%), strategi karier (46%).
- Dampak: Stres (64%), kurangi produktivitas (54%), batasi kreativitas (55%).
- Solusi: Pelatihan DEI, open dialogue, evaluasi berbasis kompetensi.
- Statistik: 97% karyawan covering kadang-kadang; Gen Z 2x lebih sering daripada Boomer.