Melawan Arus Digital: Rasionalitas Berpikir di Era AI

CategoriesPendidikanTagged , , , , , ,
0 0
Read Time:3 Minute, 58 Second

Pernahkah Anda merasa bingung atau bahkan kesal dengan perdebatan di media sosial yang seringkali berakhir tanpa solusi, hanya polarisasi? Di tengah banjir informasi dan kemajuan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), muncul pertanyaan besar: Dapatkah rasionalitas berpikir di era AI benar-benar bertahan? Mari kita bedah bersama.

Ketika Nuansa Hilang di Tengah Riuhnya Informasi Digital

Beberapa waktu lalu, ada dua peristiwa di lingkungan pendidikan yang cukup menyita perhatian publik. Kedua insiden ini, selain menyedihkan, juga menunjukkan bagaimana cara kita mencerna dan menyikapi informasi di ruang digital menjadi semakin membingungkan.

Insiden di SMAN 1 Cimarga: Antara Disiplin dan Kekerasan

Kasus penamparan siswa oleh kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak-Banten, adalah salah satunya. Di satu sisi, banyak yang mengutuk tindakan kekerasan dalam pendidikan. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang membenarkan teguran keras atas perilaku siswa yang merokok di lingkungan sekolah.

Percayalah, di dunia digital, respons kita seringkali terbagi menjadi dua kutub ekstrem ini. Nuansa dan kemungkinan-kemungkinan lain, seperti latar belakang masalah, peringatan sebelumnya, atau karakter kepala sekolah, seolah lenyap begitu saja dari perbincangan. Kita dipaksa memilih ‘hitam’ atau ‘putih’.

Tragedi di Universitas Udayana: Kesimpangsiuran di Balik Duka

Tak kalah pilu adalah kasus meninggalnya mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugrah Saputra. Dugaan bunuh diri yang mengemuka segera memicu spekulasi.

Di media sosial, perbincangan langsung menunjuk pada dugaan perundungan, bahkan menjadikannya teori tunggal penyebab. Meskipun penyelidikan masih berlangsung, percakapan di WAG yang seharusnya menjadi petunjuk, justru dieksploitasi sebagai ‘bukti mutlak’ untuk menyimpulkan sebuah tragedi. Lagi-lagi, kita kehilangan kemampuan melihat gambaran yang lebih besar dan cenderung menarik kesimpulan yang paling cepat diterima akal.

Apa Itu Rasionalitas Berpikir dan Mengapa Penting?

Lantas, sebenarnya apa itu rasionalitas berpikir? Secara sederhana, berpikir rasional adalah proses menggunakan logika dan akal sehat untuk mengevaluasi informasi dan membuat keputusan.

Para ahli seperti Manasi Bandal dan Rohan Parikh sepakat, berpikir rasional itu:

  • Sistematis dan objektif.
  • Didasarkan pada fakta dan bukti, bukan emosi atau bias semata.
  • Kemampuan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal dari data yang ada.

Kemampuan ini krusial untuk membuat keputusan yang tepat, menyelesaikan masalah, dan, yang paling penting, tidak mudah terombang-ambing oleh informasi yang belum teruji kebenarannya.

Jebakan Logika Biner: Ketika Dunia Jadi Hitam Putih

Lalu, apa hubungannya **rasionalitas berpikir** dengan media sosial dan teknologi digital?

Akar masalahnya ada pada cara kerja teknologi digital itu sendiri: logika biner. Sistem komputasi digital bekerja dengan dua nilai mutlak: 0 dan 1. Ini bukan tentang ‘0 dan 1’, tapi ‘0 atau 1’. Ketika alam semesta yang penuh nuansa dan kompleksitas ini direpresentasikan ke dalam kode biner, terjadilah penyederhanaan radikal.

Coba perhatikan:

  • Sesuatu harus ‘hitam’ atau ‘putih’.
  • ‘Benar’ atau ‘salah’.
  • ‘Suka’ atau ‘tidak suka’.
  • ‘Mendukung’ atau ‘mengabaikan’.

Seperti yang ditegaskan Aletheia Hitz, interaksi di media sosial seringkali membatasi kita pada pilihan biner ini. Kita sulit mengekspresikan nuansa, keraguan, atau pandangan di antara dua ekstrem. Ini merusak hubungan, membuat wacana ambigu, dan mendorong generalisasi yang terburu-buru.

Lihat saja kedua kasus di atas; alih-alih mencari tahu isu-isu krusial di baliknya, kita cenderung langsung ‘memihak’ tanpa pertimbangan mendalam. Kita kehilangan kemampuan untuk melihat banyak kemungkinan dan memilih yang paling cepat dicerna, seringkali karena algoritma media sosial mendorong kita ke arah itu.

Ancaman Baru: Rasionalitas di Tengah Gempuran Artificial Intelligence

Kini, bayangkan jika logika biner ini diperkuat dan dipercepat oleh Artificial Intelligence (AI). Kondisi minimnya rasionalitas berpikir di media sosial semakin mengkhawatirkan.

Dengan AI, konten seperti teks, gambar, video, bahkan deepfake, dapat dengan mudah dan cepat diproduksi dan didistribusikan. Semua ini mengikuti petunjuk algoritma yang dirancang untuk menjaga kita tetap terlibat (engage), bukan untuk mendorong kita berpikir kritis atau rasional.

Jika pembentukan sikap dan opini kita semakin didikte oleh konten yang dipabrikasi teknologi digital, bukankah rasionalitas hakiki kita terancam mati? Proses berpikir telah diambil alih oleh mesin cerdas, dan kita bisa kehilangan kemampuan untuk membedakan fakta dengan fiksi, nuansa dengan ekstrem.

Lantas, Bagaimana Kita Bisa Mempertahankan Nalar?

Apakah kita hanya bisa pasrah melihat rasionalitas berpikir di era AI ini terus terkikis?

Tentu tidak! Kita memiliki kekuatan untuk melawan arus digital ini. Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:

  • Pikirkan Dua Kali Sebelum Bereaksi: Jangan terburu-buru menyukai, membagikan, atau berkomentar. Beri jeda sejenak untuk memproses informasi.
  • Cari Berbagai Sudut Pandang: Jangan terpaku pada satu sumber atau satu narasi. Cari tahu fakta dari berbagai sumber yang kredibel.
  • Edukasi Diri Sendiri: Pahami cara kerja media sosial dan AI. Sadari bagaimana algoritma bisa memanipulasi pandangan kita.
  • Berlatih Memahami Nuansa: Dunia tidak selalu hitam-putih. Belajarlah untuk menerima dan memahami kompleksitas suatu isu.
  • Ajukan Pertanyaan Kritis: Daripada langsung menerima, tanyakan: Siapa yang membuat konten ini? Apa buktinya? Apa motifnya?

Mempertahankan rasionalitas berpikir di era digital yang semakin dipengaruhi AI adalah tantangan, tapi juga sebuah keharusan. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup di lautan informasi, tapi juga tentang menjaga esensi kemanusiaan kita yang mampu bernalar dan berpikir kritis.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

About the author